BANDA ACEH, MEDIANDANEWS.COM: Olahraga dan politik adalah dua hal yang berbeda, sangat jauh berbeda. Bahkan dalam beberapa hal, olahraga dan politik bisa bertolak belakang. Dalam olahraga, orang berlomba-lomba untuk menjadi pemenang dengan menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas (fairplay). Tetapi dalam politik, banyak orang berlomba-lomba menjadi pemenang dengan menghalakan segala cara (machiavelist).
Namun dalam beberapa hal banyak orang mengaitkan olahraga dengan politik, bahkan menggunakan olahraga untuk kepentingan politiknya. Lihat saja, untuk memprotes pendudukan Uni Sovyet (sekarang Russia) di Afghanistan, Amerika Serikat (AS) memboikot Olimpiade 1980 yang diselenggarakan di Moskow, Uni Sovyet.
Tindakan AS tersebut diikuti tidak kurang dari 60 negara lainnya, termasuk Indonesia.Pengamat Olahraga dan Dosen Faakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) jurusan Pendidikan Jasmani Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (PENJAS UNIKI) Tawakal MPd mengatakan, sebenarnya olahraga dan politik erat kaitannya. Tidak bisa tidak, meski orang bilang jangan dikaitkan. Karena dari awalnya olahraga kaitannya dengan politik sejak olimpiade 1938.
Misalnya, dulu angkatan perang atlet-atletnya ada. Atau ketika Jepang pertama kali ingin menjadi tuan rumah olimpiade 1964 untuk memperlihatkan ekonomi dan politiknya sudah kembali stabil dari kalah perang dunia kedua.Juga tambah Tawakal, dalam menjelang Pemilu (Pemilihan Umum), apakah untuk kepentingan Pilpres (Pemilihan Presiden) ataupun Pilcaleg (Pemilihan Calon Legislatif), tidak sedikit para timsesnya menggelar event-event olahraga seperti futsal, sepakbola dan lainnya untuk kampanye. Dalam menggalang dukungan dan simpati.
Memang, ada beberapa pandangan para politikus dan pebisnis mengaitkan antara politik dan olahraga. Hal ini sah-sah saja. Karena olahraga mendatangkan massa yang banyak, dan para politikus membutuhkan massa. Karena olahraga dimanfaatkan untuk politik, tidak heran banyak tokoh politik memiliki juga klub olahraga, seperti Kaesang Pangarep memiliki klub Persis Solo.
“Bahkan Presiden Soekarno bukan hanya mengaitkan politik dengan olahraga, tetapi malah menjadikan olahraga sebagai penyaluran politiknya melalui penyelenggaraan Ganefo (Games of The New Emerging Forces) atau pesta olahraga negara-negara berkembang pada akhir tahun 1962 di Jakarta sebagai tandingan olimpiade. Indonesia merasa sakit hati dikecam Komite Olimpiade Internasional karena dalam Asian Games di tahun yang sama, tidak mengundang Israel dan Taiwan sebagai bentuk simpati terhadap negara-negara Arab dan Tiongkok (China).
”Kita tidak bisa pungkiri bahwa di Indonesia ini khususnya di Provinsi Aceh ini, Hal itu juga semakin dipertegas lantaran banyak fasilitas-fasilitas olahraga yang ada di Kota Serambi Mekkah ini dimiliki oleh pemerintah.
Disaat olahraga sudah menjadi industri tanpa adanya campur tangan pemerintah dan Anggota Legeslatif baik itu Aceh maupun di Kota/Kabupaten, olahraga tidak akan berjalan baik dan semestinya.
Nelson Mandela pernah mengungkapkan konsep “Power of sport” di mana olahraga memiliki kekuatan untuk mengubah dunia, menginspirasi, mempersatukan manusia, “berbicara” kepada generasi muda dengan bahasa yang mudah dipahami, dan menciptakan harapan.
Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengadakan pertemuan virtual dengan Komite Olimpiade Nasional (NOC) yang ada di seluruh dunia pada bulan september lalu menyangkut perperangan antara Russia dan Ukraina.
NOC Indonesia yang turut menghadiri rapat tersebut diwakilili oleh dua Komite Eksekutif-nya, yakni Rafiq Hakim Radinal dan Indra Gumulya.Pada pertemuan virtual itu, Thomas Bach selaku Presiden IOC memberikan pesan yang cukup keras kepada NOC yang ada di seluruh dunia.
Pria asal Jerman tersebut meminta NOC seluruh dunia untuk menjauhkan olahraga dari seluruh tekanan. Termasuk intervensi politik, sesuatu hal yang sangat jamak terjadi di dunia.Memang, salah satu peran NOC yang tertuang dalam Olympic Charter (Piagam Olimpiade) adalah NOC harus mempertahankan otonomi mereka. Serta menolak semua bentuk tekanan.
Termasuk tekanan politik, hukum, agama, maupun ekonomi yang dapat mencegah mereka dalam tugasnya untuk mematuhi Olympic Charter.
“Kita harus memastikan otonomi dan mendapatkan respek dari pemerintah di masing-masing negara. Ini adalah bagian dari gerakan olahraga di kompetisi olahraga internasional. Artinya, kita berkewajiban untuk menjaga otonomi ini dan menguatkan usaha kita,” kata Thomas Bach ke seluruh peserta.**